Siroa Simamor


Pada celah-celah berukuran sedang di dinding karang sebelah luar dari tanjung kecil yang nyatanya menyerupai naga raksasa sedang membuka mulut dengan gigi gigi tajamnya mencuat itulah, tersimpan puluhan tulang manusia. Ada tulang tengkorak, tulang kering, tulang paha, tulang rusuk, dan tulang lengan. Di depannya terbentang laut teluk Cendrawasih. Ia tenang bagai hamparan permadani biru.

Siroa Simamor, begitu aku menyebutnya ketika menulis sebuah tulisan tentang situs sejarah ini,ketika bersama sahabatku, Hery Tebay, didampingi guru Sejarah,Longginus Pekey, ikut dalam rombongan Lawatan Sejarah KabupatenNabire 2010. Aku ingat tanggalnya: 3 Mei 2010.

Situs Sejarah SiroaSimamor ada di pulau Moor. Pulau Moor, letaknya tak jauh dari bibir pelabuhan Samabusa Nabire, pada laut teluk Cendrawasih.

Aku bersyukur dipilih sekolah mengikuti kegiatan itu. Setiap sekolah di Nabire mengirim masing-masing 2 siswa dengan guru sejarahnya sebagai guru pendamping.Kami mengunjungi situs-situs sejarah yang berada di kabupatenNabire.

Banyak situs sejarah yang kami kunjungi. Sayang, tak banyak informasi yang dapat kami gali,karena waktu yang digunakan cuma sehari. Masing-masing situs hanyadisinggahi kurang dari 4 jam. Waktu yang singkat untuk menggali cerita yang termeterai di balik situs –situs itu. Dan barangkali karena singkatnya waktu, informasi yang kami dapat pun tidak mendalam.

Hari itu, saya dan Hery telah bersiap di asrama putera Teruna Karsa pukul 06.00 WP. Kami langsung menuju kantor bupati Nabire. Di halaman kantor, kami bertemupak Longgi, guru sejarah kami, yang langsung memberi kami baju lawatan sejarah berwarna kuning hitam -yang sampai kini suka akukenakan.

Saya bertemu teman-temandari sekolah lain. Berkenalan, berjabat tangan pasti terjadi. Kamilangsung akrab. Habis breefing dan upacara pelepasan rombongan oleh bupati, kami sarapan. Tak lama kemudian, kami berangkat menggunakan bus milik Uswim Nabire.

Tujuan pertama kamiadalah mengunjungi situs sejarah Air Mendidih di Samabusa. Seingatku,sahabatku, Hery, memfokuskan diri menulis tentang situs sejarah AirMendidih ini. Belakangan aku tahu, ia telah membuatnya menajdi sebuah karya tulis. Sampai pada samping jalan tempat situs itu, rombongan kami dipimpin seorang warga masuk menuju hutan. Kami menuju situsitu.

Jalan masuknya tidak terawat. Rumput tinggi, tanda tak ada yang peduli nasib situs ini.Sepertinya jarang orang mengunjungi situs itu. Di tengah hutan itu,di daerah berair, seperti rawa dalam hutan, kami masuk. Ada jembatan kayu yang dibuat. Melaluinya kami sampai pada situs itu.

Air panas menyembur daridalam tanah, dan memancar setinggi setengah meter. Panas! Kata warga,untuk membuat telur mentah menjadi masak, butuh waktu kurang dari 3menit, bila diceburkan dalam air itu. Daun hijau langsung layu ketika saya melemparkannya ke dalam.

Kami mewawancarai wargaitu. Menurutnya, situs itu ditemukan oleh para kekerja pada PT.Nabire Jaya sekitar tahun 1980-an. Mata air panas itu katanya berpindah-pindah secara periodik, dalam kurun waktu berkisar sepuluh tahunan. Telah banyak kali air itu berpindah tempat.

Saya yakin, ada ceritaatau kepercayaan rakyat setempat berhubungan dengan air mendidih ini,atau ada keterangan lain. Sayang, kami harus pergi mengunjungi situssejarah lain.

Kami menuju Samabusa,dekat pelabuhan laut, kami singgah pada rumah seorang kepala sukudisitu. Kemudian kami tahu, bahwa secara periodik, air mendidih ituaka berpindah tempat. Ia akan mengeluarkan bunyi, seperti bunyi letusan, bila ia berpindah temat, kata dia. (Aku lupa nama kepala suku dan warga yang kami wawancarai. Namanya ada pada buku cacatank uyang kini masih tersimpan di Nabire. Aku telah mencatat namanya.)

Setelahnnya, kami menujuMakimi. Disana, ada patung batu menyerupai manusia. Aku tidakmengorek keterangan yang banyak, selain karena faktor waktu, juga karena penduduk Makimi tidak menjelaskannya secara detail tentangl atar belakang adanya patung batu itu, menurut kepercayaan mereka.

Sedikit yang saya tahu:patung batu itu ada mitosnya. Menurut cerita, nenek moyang orangMakimi datang menggunakan perahu, kemudian menetap di Makimi. Adacerita mengenai air bah yang datang melanda Makimi karena hidup orangMakimi tidak sesuai perntah nenek moyang. Lalu ada yang lari. Adacerita jgua tentang manusia yang berubah jadi patung batu.

Saya tidak tahu, apakahsaya salah atau tidak, inilah yang saya tangkap. Tidak lama kemudian,kami jalan menuju Makimi barat, di muara sungai Legari. Cukup jauh.

Tiba di bibir muara sungai, ada perahu besar yang menanti kami. Sementara bensin diisi, kami makan. Saya, Hery, pak Longgi, juga seroang teman dari SMAN1 Nabire dan Yusuf Tabuni dari YPK Nabire duduk bersama di ruritan perahu, makan.

Beberapa ikan melompat,kemudian turun lagi. Sementara burung-burung camar terbang di atasrata-rata air laut. Sementara laut tak beriak, bak permadani biru.Sungguh pemandangan yang indah, memanjakan mata.

Setelah makan, semua naikke dalam perahu. Melalui sungai Legari, kami masuk laut. Lepas bibirpatai, kami membelokkan perahu menuju barat. Kami menuju pulau Moor, mengunjungi situs sejarah pulau Moor..

Rencananya, kami juga akanmengunjungi rongsokan pesawat di pulau Ohee. Rongsokan pesawat itujatuh kala perang dunia II. Aku tidak tahu, apakah pesawat itu milikJepang, milik Belanda, atau Amerika Serikat.

Tiba di dekat pulau Moor, kami melihat kumpulan manusia di bibir pantai. Beberapa saat kemudian, meluncurlah dua berahu. Mereka telah menghias perahu itu.Karena dalam rombongan ada pejabat pemerintah kabupaten Nabire, mereka menyambut kami dengan tarian.

Saya kagumi mereka, tak kuatir tenggelam, tak kuatir apapun, mereka malah yospan sambil bernyanyi di atas perahu kecil mereka. Ombak tidak mereka hiraukan.Alam dan manusia seakan telah bersatu, membentuk manusia Moor.

Setelah tiba, kami diharuskan menginjakkan kaki di atas piring batu yang telah diisipasir. Itu upaara wajib bagi para pendatang dari luar pulau.Pandangan mata mereka bersahabat, memaksa senyuman tersungging dibibir. Kami menuju balai desa.

Disana, kami diminta untuk tidak membawa apapun dari pulau itu, karena akan kena kutuk.Juga diminta untuk berperilaku baik, juga agar tidak dikutuk.Selanjutnya, seorang sesepuh desa memimpin kami menyusuri bibir pulau Moor, menuju barat balai desa.

Menyusuri pantai yang adalah kegemaranku saat itu sangat aku nikmati. Aku akui, pulau Moor bak surga tersembunyi. Karang indahnya, air laut yang masih jernih, juga hutan bakau dan kelapa di bibir pantai yang menghijau juga mempercantik pulau ini.

Dari jauh kelihatan, adatanjung yang lebih menyerupai mulut naga raksasa dengan mulutterbuka. Masyarakat yang turut bersama kami menjelaskan, disanalahsitus itu berada. Disana, di celah-celah tebing karang itu,tersimpan puluhan tulang. Ada tulang tengkorak, tulang rusuk. Tulangkering, tulang paha, da tulang lengan tangan.

Masyarakat mengaku tidak banyak tahu tentang itu. Yang lebih tahu adalah tetua adat, begitu kata mereka. Yang jelas, telah saya dengar, di situs itu, kita tidakdapat berlama-lama. Hanya sekitar 10 menit. Tidak boleh lebih. Akanterjadi hal-hal yang tidak diinginkan, begitu kata warga.

Tiba di tanjung kecil menyeruai mulut naga itu, tetua adat naik tangga kecil. Ia memasukkantangan ke dalam lubang, setelah mengucapkan beberapa kata yang tidakkami dengar. Setelahnya, ia mengambil tulang tengkorak manusia,tulang rusuk, tulang paha, dan tulang yang lain untuk kami lihat.

Setelahnya, ia menjelaskan cerita sejarah Siroa Simamor. Dahulu kala, pulau Moor dan pulau lainnya di barat pulau Moor bersatu. Disitu, hidup seorang lelaki bernama Siroa. Ia berkepala manusia bertubuh ular.

Siroa adalah yang memimpin rakyat di pulau itu. Ia mengajarkan yang baik, dan senantiasa memberitakan tentang bagaimana hidup yang baik. Seiring tumbuh dewasanya, Siroa hendak mencari isteri. Karena memunyai badanyang bukan seperti manusia pada umumnya, ketika hendak meminanggadis untuk diperistrinya, semua menolak.

Siroa kecewa. Belakangan,terjadi hal yang aneh di pulau mereka. Anak gadis mereka seringhilang. Hilang selamanya, dan tanpa jejak. Anak-anak mereka pundemikian.

Masyarakat mencurigai Siroa sebagai dalang. Mereka beralasan, kejadian itu terjadi setelah kekecewaan Siroa karena selalu ditolak bila meminang gadis mereka.Diam-diam, mereka berencana membunuh Siroa.

Pada sebuah tempat pertemuan, yang di tengahnya ada lubang batu raksasa, disanalah mereka berpura-pura bertemu untuk membicarakan sesuatu. Siroa, tanpa curiga sedikitpun, hadir disana. Pada waktu yang tepat, kepalanya dipenggal. Tubuhnya diangkat, dan dimasukkan kedalam lubang itu.

Sebelum ia tenggelam dalam lobang itu, Siroa berpesan: Siroa akan kembali suatu ketika, guna mengetahui apakah masyakarat pulau Moor mengikuti danmelaksanahkan segala-sesuatu yang diperintahkanya atau tidak. Pada saat itulah, Siroa menjanjikan penghakiman atas mereka.

Siroa tenggelam.Terjadilah gempa bumi dasyat. Air laut naik, dan menghantam tengah-tengah pulau, tepat pada lubang itu. Pulau pun terbagi dua,juga tepat pada lubang itu. Mayat Siroa raib entah kemana.

Kini, di pulau Moor maupun pulau yang di ujung barat itu, masing masing memiliki tanjung menyerupai kepala naga raksasa. Kedua tanjung kepala naga itu dimiliki masing-masing pulau yang dahulu satu pulau itu, saling berhadapan.

Di dalam tebing karang ditanjung itulah, ditemukan banyak tulang belulang. Diyakini, tulangitu adalah tulang dari para gadis yang telah hilang pada waktu Siroahidup dahulu. Tulang-tulang itu dipelihara oleh seorang tetua adat.

Sayang, karena kurangnya perawatan dan perhatian dari pemerintah, beberapa tulang malah berhasil dicuri oleh orang luar negeri yang berkunjung ke situ.

Setelah pamit, kami ingin mengunjungi rongsokan pesawat peninggalan perang dunia II itu. Sayangnya, waktu yang kami miliki tidak mengizinkan. Terpaksa kami membatalkan rencana untuk ke pulau Ohee, pada rongsokan pesawat itu.

Kami langsung menujupelabuhan Samabusa, tempat dimana nantinya Bus yang telah siap akanmengantar kami menuju kota Nabire. Waktu menunjuk pulul 4 sore. Udaracerah. Air laut beriak kecil. Saya menikmati perjalanan itu.

Beberapa ikan kecil berlompatan di sekeliling kami, mencoba memberitahu kami akan keberadaan mereka. Tak lama kemudian, ikan kecil di sekiat perahu kami menjadi sangat banyak. Air menjadi berombak besar. Anehnya, ombak itu hanya di sekiat perahu. Ternyata kerena adanya ikan Lumba-Lumba.

Saya melihat ikan lumba-lumba. Beberapa saat kemudian, 3 ekor ikan lumba-lumba meloncat indah, kemudian membenamkan diri kembali ke laut. Indah sekali. Dari jauh, kami memandang pulau Ohee. Waktu semakin berlalu. Pukul 6.00 sore, kami telah mendekati pelabuhan Samabusa.

Kami makan malam. Sesampainya di pelabuhan Samabusa, kami langsung menuju bus yang akan membawa kami menuju kota Nabire. Semua sibuk dengan aktivitasnya. Tak ada yang bicara. Aku melihat kebanyakan dari rombongan tertidur dalam Bus.

Aku mencoba tidur, namun pikiranku tidak mampu kutenangkan. Situs sejarah pulau Moor: Siroa Simamor terus terbayang dalam benak saya. Aku bandingkan dengancerita mesianis Kohei daba pada daerah kami. Sedikit sama.

Aku lebih tertarik mengeksplorasi situs ini. Jadinya, aku memilik situs itu untuk kutuliskan. Aku telah membuat seperti sebuah paper yang memaparkan situs sejarah itu. Pak Loggi telah mengambil beberapa gambar dari teman-teman gurunya yang ketika itu menjadi pendamping, berkaitan dengan situs sejarah pulau Moor.

Selama seminggu berikutnya, saya juga Hery sibuk membuat paper tentang situ sejarah itu. Aku membuat tentang situs sejarah pulau Moor. Jadilah papernya dengan judul, Siroa Simamor: Situs sejarah pulau Moor.

Belakangan, aku ketahui file tentang Siroa Simamor yang saya buat itu hilang dari leptop milik pak Longgi. Entahlah. Yang jelas, saya tahu satu hal:

Nabire kaya akan potensi wisata daerah. Nabire kaya akan keindahan alam yang potensial untukdijadikan tempat wisata dan dipromosikan. Saat itu –mungkin juga hingga kini- situs situs sejarah itu, pantai-pantai indah itu, hutan bakau dan hutan magrove itu, dan semua keindahan alam itu dibiarkan begitu saja, tanpa diolah, dilindungi, diproteksi, dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.

Ingin kembali mengunjungi situs-situs sejarah itu.

@Sanimala Bastian

kumpulan catatan perjalanan